Ridha Restu Maulida

Ridha Restu Maulida

Senin, 08 Desember 2014

AZT Untuk HIV

Apa AZT Itu?

AZT (Retrovir) adalah obat yang dipakai untuk terapi antiretroviral (ART). Obat ini pertama kali dibuat oleh GlaxoSmithKline (GSK), tetapi sekarang tersedia dari beberapa produsen, termasuk di Indonesia. Versi Kimia Farma bernama Reviral. AZT juga dikenal sebagai azido-deoxythymidine, zidovudine atau ZDV.
AZT adalah obat pertama yang disetujui untuk mengobati HIV. Obat ini termasuk golongan analog nukleosida atau nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI). Obat golongan ini menghambat enzim reverse transcriptase. Enzim ini mengubah bahan genetik (RNA) HIV menjadikannya bentuk DNA. Ini harus terjadi sebelum kode genetik HIV dapat dimasukkan ke kode genetik sel yang terinfeksi HIV.

Siapa Sebaiknya Memakai AZT?

AZT disetujui pada 1987 sebagai obat antiretroviral (ARV) untuk orang dengan infeksi HIV. Takaran disetujui untuk anak di atas usia enam minggu serta untuk bayi yang baru lahir dari ibu HIV-positif, untuk mencegah penularan HIV.
Tidak ada pedoman tetap tentang kapan sebaiknya mulai memakai ART. Kita dan dokter harus mempertimbangkan jumlah CD4, viral load, gejala yang kita alami, dan sikap kita terhadap penggunaan ART.
Jika kita memakai AZT dengan ARV lain, kita dapat mengurangi viral load kita pada tingkat yang sangat rendah dan meningkatkan jumlah CD4 kita. Hal ini seharusnya berarti kita lebih sehat untuk waktu lebih lama.
Karena AZT adalah obat antiretroviral (ARV) yang pertama disetujui, obat ini telah lebih diteliti dibandingkan dengan obat apa pun. Obat baru diuji coba dengan membandingkannya dengan AZT.
Awalnya, AZT diuji coba pada orang tanpa gejala penyakit HIV. Penelitian ini menunjukkan tidak ada manfaat dari penggunaan AZT. Tetapi AZT dipakai sebagai bagian dari terapi kombinasi untuk orang yang terpajan HIV (berisiko terinfeksi) melalui kecelakaan di tempat kerja (misalnya tertusuk jarum suntik atau darah terkena luka). Penggunaan obat ini dikenal sebagai ‘post-exposure prophylaxis’ atau profilaksis (pencegahan dengan obat) pascapajanan
AZT mengurangi penularan HIV dari ibu-ke-bayi secara bermakna. Pada pedoman yang sebelumnya, obat ini diberikan kepada perempuan hamil dari bulan empat kehamilan. Namun sekarang pedoman di Indonesia mengusulkan agar semua ibu hamil terinfeksi HIV mulai ART penuh paling lambat pada semester kedua kehamilan. Berdasarkan pedoman ini, AZT diberi pada bayi terlahir dari ibu terinfeksi HIV untuk 4-6 minggu pertama kehidupan.

Bagaimana dengan Resistansi terhadap Obat?

Waktu HIV menggandakan diri, sebagian dari bibit HIV baru menjadi sedikit berbeda dengan aslinya. Jenis berbeda ini disebut mutan. Kebanyakan mutan langsung mati, tetapi beberapa di antaranya terus menggandakan diri, walaupun kita tetap memakai ART – mutan tersebut ternyata kebal terhadap obat. Jika ini terjadi, obat tidak bekerja lagi. Hal ini disebut sebagai ‘mengembangkan resistansi’ terhadap obat tersebut.
Kadang kala, jika virus kita mengembangkan resistansi terhadap satu macam obat, virus juga menjadi resistan terhadap ARV lain. Ini disebut ‘resistansi silang’ atau ‘cross resistance’ terhadap obat atau golongan obat lain.
Resistansi dapat segera berkembang. Sangat penting memakai ARV sesuai dengan petunjuk dan jadwal, serta tidak melewati atau mengurangi dosis.

Bagaimana AZT Dipakai?

Takaran AZT yang dianjurkan untuk orang dewasa adalah 500mg hingga 600mg per hari, dipakai dua kali sehari. AZT tersedia berbentuk tablet atau pil dengan isi 100mg dan 300mg, dan dalam bentuk cairan. Pada 2011 FDA AS menyetujui tablet 100mg yang dapat dilaruti dalam air. Pada 2009, FDA menyetujui pedoman takaran baru untuk anak berusia 4 minggu ke atas. Takaran berdasarkan berat badan, dan boleh dipakai dua atau tiga kali sehari.
AZT tersedia juga sebagai gabungan dengan 3TC dalam satu pil. Nama pil ini tergantung pada produsen. Versi GSK bernama Combivir; dari Kimia Farma namanya Duviral

Apa Efek Samping AZT?

Jika kita mulai memakai ART, kita mungkin mengalami efek samping sementara, misalnya sakit kepala, darah tinggi, atau seluruh badan terasa tidak enak. Efek samping ini biasanya lambat laun membaik dan hilang. Beberapa pasien yang memakai AZT terus mengalami mual, muntah, sakit kepala dan kelelahan.
Efek samping yang paling berat akibat AZT adalah anemia, neutropenia dan miopati. Namun efek samping ini tidak lazim.
Anemia adalah kekurangan sel darah merah akibat kerusakan sumsum tulang, yang ditunjukkan oleh Hb yang rendah. Tampaknya efek samping ini paling sering terjadi pada orang yang mulai penggunaan AZT dengan jumlah CD4 yang rendah, di bawah 200. Sebaiknya kita melakukan tes Hb sebelum mulai penggunaan AZT, dan setiap bulan untuk 3-6 bulan kemudian.
Jika kita mengalami anemia, dokter mungkin menggantinya dengan ARV lain; pilihan lain untuk orang dengan anemia adalah d4T. Jika anemia berat, dan kita harus tetap memakai AZT, mungkin kita membutuhkan transfusi darah, atau memakai obat eritropoietin.
Kalau kita harus mengganti AZT dengan d4T akibat anemia, umumnya kita dapat (dan sebaiknya) kembali memakai AZT 6-12 bulan kemudian tanpa masalah anemia, setelah jumlah CD4 kita di atas 200. Namun sebaiknya kita memantau Hb sebelum ganti kembali, dan setiap 3-6 bulan kemudian.
Neutropenia adalah jumlah neutrofil yang di bawah normal. Neutrofil adalah sel darah putih yang paling umum. Bila kita kekurangan sel ini, kita lebih rentan terhadap infeksi bakteri dan jamur.
Miopati adalah sakit dan kelemahan otot. Tidak ada pengobatan khusus untuk miopati.
Warna kulit/kuku dapat menjadi lebih gelap setelah kita memakai AZT. Tampaknya tidak ada dampak klinis dari perubahan ini, tetapi tidak ada cara untuk mengobati gejala ini.
Efek samping AZT mungkin lebih berat jika dipakai dengan beberapa obat lain.

Bagaimana AZT Berinteraksi dengan Obat Lain?

Interaksi ini dapat mengubah jumlah masing-masing obat yang masuk ke aliran darah kita dan mengakibatkan overdosis atau dosis rendah. Interaksi baru terus-menerus diketahui.


Dikutip dari : http://spiritia.or.id/li/bacali.php?lino=411

Tidak ada komentar:

Posting Komentar